Ucapan Salam Pembuka dan Penutup

Ucapan salam pembuka atau penutup di lingkungan komunitas yang sejenis dan/ atau beragam dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Komunitas adat dan agama di timur maupun barat mempunyai tata cara yang berbeda ketika memberi ucapan salam pembuka dan penutup.

Ketika berada di lingkungan komunitas adat yang sama, kita dapat menggunakan ucapan salam pembuka dan penutup yang berlaku di lingkungan adatnya.

Ketika kita berada di lingkungan komunitas agama dan kepercayaan yang sejenis, kita dapat menggunakan ucapan salam pembuka dan penutup yang berlaku menurut agama dan kepercayaannya itu.

Ketika berada di lingkungan komunitas adat dan agama yang beragam, kita dapat menggunakan ucapan salam pembuka dan penutup yang netral, misalnya “Tabik.”

Tabik adalah ungkapan salam/permintaan maaf, yang dapat digunakan untuk ucapan selamat pagi, siang atau malam, atau sebagai salam pembuka atau penutup di lingkungan komunitas adat dan agama yang beragam atau tamu (wisatawan) dari mancanegara.

Bagaimana dengan tamu (wisatawan) yang berasal dari daerah atau negara lain, yang akan berkunjung di lingkungan komunitas adat dan agama yang beragam, sebaiknya menggunakan ucapan salam “Tabik,” sebagai salam pembuka maupun penutup agar tercipta hubungan saling menghormati di antara komunitas adat, agama, dan/ atau  kebangsaan yang beragam.

Ucapan Salam Pembuka dan Penutup

Saat ini kita sering mendengar ucapan salam pembuka dan penutup dengan menggunakan ucapan salam semua agama dan kepercayaan, sebagai berikut:

“Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh” (Islam), “Salam Sejahtera Bagi Kita Semua” (Kristen), “Shalom” (Katolik), “Namo Buddhaya” (Buddha), “Om Swastiastu” (Hindu), “Salam Kebajikan” (Kong Hu Cu), “Rahayu” (Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa), kepada orang dari berbagai komunitas adat dan agama yang beragam.

Ada beberapa alasan, yaitu pertama, yang bersangkutan tidak memahami bahwa salam pembuka dan penutup mempunyai tata cara yang berbeda menurut adat, agama, dan kebangsaan masing-masing. Kedua, yang bersangkutan tidak patut memberi dan menerima ucapan salam yang berasal dari komunitas adat, agama, dan/ atau kebangsaan yang berbeda. Ketiga, tidak pantas karena yang memberi dan yang menerima ucapan salam tidak memahami konteks ruang (dimana) dan waktu (kapan), siapa, kepada siapa, dan bagaimana mengucapkan salam pembuka dan penutup secara kontekstual.

Pluralisme

Paham pluralisme memandang semua agama dan kepercayaan sama sehingga semua salam keagamaan dan kepercayaan digunakan sebagai salam pembuka atau penutup. Pada kenyataannya, setiap agama dan kepercayaan mempunyai nilai, ajaran, kitab suci, ritual, tempat ibadah, pemimpin agama, dan tujuan yang berbeda.

Multikulturalisme

Paham yang mengakui keberagaman budaya. Esensi budaya adalah nilai yang membuat orang bahagia (happy), bangga (pride), dan dihargai (self respect). Budaya tidak diturunkan secara genetis, tetapi dipelajari dari lingkungan (alam, buatan, dan sosial). Budaya erat kaitannya dengan konteks ruang (dimana) dan waktu (kapan), dan biasanya lokal.

Domain warisan budaya hidup (living heritage), yaitu tradisi dan ekspresi lisan; seni pertunjukan; praktik sosial, ritual, dan perayaan; pengetahuan dan praktik tentang alam dan alam semesta; ketangkasan dan keterampilan tradisional. (Intangible Cultural Heritage, ICH-UNESCO).

Multikulturalisme mendorong komunitas adat, agama, dan/ atau kebangsaan untuk saling mengenal dan saling mempelajari keberagaman budaya melalui dialog dan kerja sama antarkomunitas adat, agama, dan/ atau kebangsaan sehingga tumbuh sikap saling menghormati dengan menjaga “batas toleransi,” yang dipedomani bersama di antara komunitas adat, agama, dan/ atau kebangsaan. Dengan memahami batas toleransi tersebut diharapkan tercipta kerukunan internal komunitas adat dan agama, kerukunan antarkomunitas adat dan agama, kerukunan antara komunitas adat dan agama dengan pemerintah, dan kerukunan antara komunitas adat dan agama dengan wisatawan nusantara dan mancanegara.

Selesai

Orang Kreatif

Orang Kreatif (OK) memanfaatkan budaya, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan teknologi di era industri 4.0.

Teknologi digital telah mengubah pola pikir dan budaya kerja karena jarak semakin dekat, akses informasi semakin cepat, dan relasi sosial semakin terbuka sehingga setiap orang mempunyai peluang yang sama untuk sukses asalkan mau belajar dan berbagi (berkolaborasi).

Pemanfaatan nilai sejarah dan budaya memberi ciri kelokalan sehingga tampak berbeda dengan yang lainnya. Dengan sentuhan teknologi dan nilai tambah ekonomi, ciri kelokalan akan memberi warna yang berbeda di tengah peradaban dunia.

Orang-orang kreatif harapan masa depan

Orang-orang kreatif itu ada di mana-mana, ciri-cirinya, antara lain: selalu ingin sesuatu yang baru karena cepat bosan, berani mengambil risiko untuk memulai bisnis (start-up), melihat tantangan dan hambatan sebagai peluang yang menguntungkan, berpikir dengan menggunakan otak kanan (seni, imajinasi, perasaan) sehingga perlu bekerja sama dengan orang yang berpikir dengan otak kiri (logika, objektivitas, dan rasionalitas), banyak melakukan kesalahan karena pengalaman merupakan guru yang terbaik, membenci aturan yang menghambat kreativitas, ruang kerja terbuka dan nyaman (co-working space) akan merangsang kreativitas, bekerja bebas (independen), berani mengaplikasikan ide-ide baru yang belum pernah ada sebelumnya (inovatif), mempunyai reputasi yang berbeda dengan yang lain (eksentrik), mempunyai mimpi besar, dan berkolaborasi dengan orang-orang yang mempunyai nilai dan visi yang sama.

Tabik

Keamanan dan Kenyamanan

Destinasi pariwisata yang memperhatikan faktor keamanan dan kenyamanan menjadi harapan setiap wisatawan yang akan berkunjung ke destinasi pariwisata.
Membangun penjenamaan (branding) sebuah destinasi pariwisata (negara, provinsi, kabupaten/ kota). Itulah sebabnya mengapa branding dan iklan sangat menentukan keberhasilan penjualan sebuah destinasi pariwisata.
Pada saat sebuah destinasi pariwisata terpuruk karena faktor alam atau manusia, yang membuat citra sebuah destinasi buruk di mata calon wisatawan, apalagi investor, yang diperlukan bukan membangun citra (branding) pariwisata, melainkan memperbaiki impresi (image) dengan menunjukkan mengapa, apa, dan bagaimana pengelola destinasi membenahi impresi tentang dirinya agar citra (image) destinasi pariwisata berubah menjadi lebih baik di mata calon wisatawan atau investor.
Upaya untuk memperbaiki impresi sebuah destinasi pariwisata yang terpuruk (impresi negatif) memerlukan waktu lebih lama (1-3 tahun) daripada memperbaiki branding pariwisata. Karena itu, kejujuran dan keterbukaan pengelola destinasi pariwisata akan menumbuhkan kepercayaan calon wisatawan atau investor sebelum berkunjung atau berinvestasi di destinasi pariwisata yang aman dan nyaman bagi wisatawan. Pariwisata yang bertanggung jawab peduli dengan keamanan dan keselamatan wisatawan dan masyarakat di destinasi pariwisata, tidak hanya peduli dengan keuntungan atau kerugian ekonomi semata.