Pasar Konvensional dan Pasar Daring

Pasar, tempat bertemunya pedagang (penjual) dengan pembeli. Sebelum mengenal uang, transaksi dilakukan dengan tukar menukar barang (barter). Untuk memudahkan tukar menukar barang diciptakan uang sebagai alat tukar untuk membeli barang dan jasa. Ada barang dan jasa ada harga. Jadi, transaksi telah berubah dari barter menjadi jual-beli dengan menggunakan uang, yang disepakati setelah terjadi tawar menawar antara penjual dengan pembeli. Jika harga telah disepakati, terjadilah transaksi jual-beli.

Transaksi jual-beli itu dilakukan di pasar, baik pasar konvensional maupun pasar online, yang saat ini telah berkembang pesat, apalagi dengan adanya perkembangan teknologi digital, telah mengubah wajah pasar dari pasar konvensional menjadi pasar online, atau lebih dikenal dengan istilah market place, seperti Bukalapak, Tokopedia, Amazon, Blibli, Alibaba dsb. Di pasar digital juga terjadi transaksi jasa dengan pengguna, seperti Go-jek, Grab, Blue Bird dsb.

Pasar daring (market place) telah mengubah gaya hidup pembeli dalam melakukan transaksi barang maupun jasa, dari transaksi langsung (tatap muka) menjadi tidak langsung (melalui website atau mobile apps).

Pertumbuhan ekonomi digital menimbulkan persaingan di antara penyedia barang dan jasa jasa. Persaingan harga dan pelayanan tidak dapat dihindari. Pembeli atau konsumen semakin selektif dalam memilih market place atau pasar online.

Sebagaimana transaksi ekonomi lainnya, kepercayaan (trust) terhadap penyedia barang dan jasa menjadi perhatian utama pembeli atau pengguna jasa.

Isu yang menjadi perhatian pembeli atau pengguna jasa pun berkembang, tidak hanya harga atau kemudahan dalam memberi pelayanan, tetapi juga isu apakah barang dan jasa yang ditawarkan halal dan tidak mengandung riba? Pembahasan mengenai hal ini banyak menjadi perhatian ahli ekonomi syariah.

Pertanyaan berikut apakah pasar online akan mematikan pasar konvensional?

Pertanyaan di atas telah terbukti dengan tutupnya beberapa mal yang menyediakan barang kebutuhan sandang dan pangan atau sepi pengunjung karena telah terjadi perubahan gaya hidup konsumen dalam membeli barang atau menggunakan jasa yang ditawarkan.

Apakah penyedia jasa perjalanan wisata akan tutup?

Pertanyaan di atas telah terbukti dengan tutupnya penyedia jasa perjalanan, yang selama ini hanya menjual tiket perjalanan karena sekarang wisatawan dapat memesan tiket perjalanan langsung ke penyedia jasa perjalanan, seperti jasa penerbangan dan kereta api, daripada melalui penyedia jasa perjalanan wisata.

Kondisi yang sama, bila penyedia akomodasi, seperti hotel, menyediakan aplikasi untuk pemesanan kamar sendiri, yang memudahkan wisatawan untuk memesan kamar sendiri, tentu wisatawan akan memesan kamar sendiri daripada melalui penyedia jasa akomodasi online. Tetapi, bisnis yang berjalanan justru wisatawan yang memesan langsung kamar hotel akan dikenakan harga yang lebih mahal daripada memesan kamar dengan menggunakan penyedia jasa akomodasi online karena kamar yang dijual sebenarnya kamar dengan harga yang lebih murah dibandingkan harga kamar yang lainnya. Mengapa harga kamar yang dijual oleh jasa akomodasi online lebih murah? Karena penyedia jasa akomodasi online menjual jasa penjualan kamar dengan harga lebih murah dibandingkan dengan harga kamar yang dijual langsung oleh manajemen hotel. Dalam hal ini, transaksi pembayaran melalui jasa akomodasi online biasanya menggunakan kartu kredit atau transfer antarbank.

Apakah destinasi wisata akan dikunjungi wisatawan?

Pertanyaan di atas hanya dapat dijawab dengan pertanyaan, apakah pembeli atau pengguna jasa (wisatawan) dapat memenuhi kebutuhannya sendiri?

Pertanyaan di atas akan semakin menarik, jika pembeli atau pengguna jasa, seperti wisatawan, lebih tertarik dengan permainan interaktif, yang menyediakan berbagai aktivitas atau pengalaman baru bagi wisatawan, yang belum pernah berkunjung ke destinasi wisata, dapat berwisata dengan menggunakan teknologi virtual reality, tanpa harus berkunjung atau melihat langsung berbagai destinasi wisata di dunia.

Demikian juga acara masak memasak di beberapa stasiun televisi telah mengubah gaya hidup penonton untuk belajar memasak sendiri daripada makan di restoran.

Perubahan gaya hidup di era digital perlu diantisipasi karena akan terjadi perubahan yang lebih dahsyat ketika kita memasuki era keberlimpahan.

Di era keberlimpahan, setiap orang akan menjadi produsen sekaligus sebagai pembeli barang dan jasa (prosumer). Fenomena ini tengah berlangsung dengan maraknya media sosial, seperti facebook, twitter, instagram, dsb. Apalagi adanya perkembangan teknologi uang digital, yang dapat digunakan sebagai alat transaksi di seluruh dunia, uang tidak lagi mengenal kewarganegaraan, apalagi kebangsaan.

Kecerdasan akal dan teknologi telah mengubah wajah dunia, yang akan membuat semua orang mempunyai peluang yang sama untuk meraih sukses.

Semoga perubahan di era digital ini memberi berkah untuk orang banyak.

Pemerhati pariwisata dan ekonomi kreatif