Istilah warisan budaya takbenda digunakan oleh Sekretariat ICH-UNESCO dalam Konvensi 2003 tentang Pelindungan Warisan Budaya Takbenda (Intangible Cultural Heritage), akhir-akhir ini Sekretariat ICH-UNESCO mempopulerkan penggunaan istilah warisan budaya hidup atau living heritage, yang meliputi nilai, makna, fungsi, dan identitas bagi komunitas yang bersangkutan. Dalam Konvensi 1972 tentang Proteksi Warisan Alam dan Budaya Dunia digunakan istilah nilai universal yang luar biasa (outstanding universal value). Sejak Indonesia menjadi Negara Pihak Konvensi 2003 tentang Pelindungan Warisan Budaya Takbenda pada 2007, digunakan istilah warisan budaya takbenda, yang seringkali menimbulkan salah paham, misalnya tidak kasat mata atau tidak dapat disentuh, padahal dapat dilihat dan dapat disentuh, misalnya pertunjukan wayang kulit, penonton wayang kulit, tidak hanya melihat pertunjukan wayang kulit, tetapi penonton juga dapat menyentuh wayang kulit, belajar membuat wayang kulit, atau memainkan wayang kulit.

Tulisan ini berisi penjelasan singkat tentang hubungan warisan budaya hidup dengan kekayaan intelektual, khususnya pelidungan hak cipta, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang merupakan hasil kesepakatan (sementara) pelindungan warisan budaya hidup yang di dalam Undang-Undang Hak Cipta disebut Ekspresi Budaya Tradisional.

Rezim pelindungan hak cipta konvensional yang berada di bawah World Intellectual Property Right (WIPO), terutama mengatur pelindungan hak cipta perseorangan dan/ atau perusahaan, sementara Ekspresi Budaya Tradisional mengatur pelindungan hak cipta yang bersifat kolektif (komunal), yang disepakati untuk dimasukkan ke dalam Undang-Undang Hak Cipta agar karya budaya (produk) Indonesia yang penciptanya tidak diketahui karena diwariskan dari generasi ke generasi sebagai warisan budaya Indonesia yang dilindungi oleh Negara.

Kekayaan Intelektual

Negara memiliki hukum kekayaan intelektual: (a) untuk melindungi hak moral dan ekonomi para pencipta dalam ciptaan mereka, dan hak-hak publik dalam mengakses ciptaan tersebut;  (b) untuk mempromosikan kreativitas dan penyebaran dan penerapan hasilnya;  dan (c) untuk mendorong perdagangan yang adil.

Hak kekayaan intelektual secara ideal diatur dengan cara yang saling melengkapi di tingkat nasional, regional dan internasional.  Dalam kasus Negara-negara Anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), rezim HKI di tingkat nasional dipengaruhi oleh perjanjian internasional seperti TRIPS (aspek terkait perdagangan Hak Kekayaan Intelektual, 1994).  Instrumen Kekayaan Intelektual Internasional yang terkait dengan wsrisan hidup berada dalam bidang kompetensi Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO).

Menetapkan hak kekayaan intelektual atas warisan budaya hidup

Jenis konvensional hak kekayaan intelektual seperti ‘paten,’ ‘merek dagang’ dan ‘hak cipta’ telah digunakan untuk melindungi dan mempromosikan Kekayaan Intelektual komunitas sehubungan dengan warisan budaya hidup mereka.

Rezim Hak Kekayaan Intelektual biasanya dirancang untuk melindungi hak-hak individu atau perusahaan, dan mungkin tidak selalu cocok untuk melindungi hak-hak komunitas yang terkait dengan warisan budaya hidup. Oleh karena itu, banyak negara, yang seringkali dibantu oleh WIPO, telah memodifikasi rezim HKI mereka di tingkat nasional.  Ada juga perjanjian regional tentang HKI yang terkait dengan warisan budaya hidup.

Telah terbukti sulit untuk membangun instrumen hukum internasional untuk melindungi hak kekayaan intelektual atas warisan budaya hidup – tugas yang diberikan kepada Komite Antarpemerintah WIPO tentang Kekayaan Intelektual dan Sumber Daya Genetik, Pengetahuan Tradisional dan Cerita Rakyat.

Publikasi WIPO yang bermanfaat tentang HKI terkait warisan hidup dapat ditemukan di: http://www.wipo.int/freepublications/en/tk/913/wipo_pub_913.pdf

Hak-hak dan manfaat komunitas dalam Konvensi

Petunjuk pelaksanaan Konvensi 2003 tentang Pelindungan Warisan Budaya Hidup mendorong Negara-negara Pihak untuk memastikan:

khususnya melalui penerapan hak kekayaan intelektual, hak privasi dan segala bentuk pelindungan hukum lainnya, bahwa hak komunitas, kelompok dan individu yang menciptakan, mempraktikkan, dan mentransmisikan warisan hidup mereka terlindungi dengan baik ketika meningkatkan kesadaran tentang warisan mereka atau terlibat dalam kegiatan komersial  (Operational Directives/ OD, 104).

Hak-hak yang harus dinikmati komunitas atas warisan hidup mereka tidak ditentukan secara perinci dalam Konvensi, tetapi Arahan Petunjuk Operasional menunjukkan bahwa:

Komunitas harus diakui dan dihormati sebagai pewaris tradisi warisan budaya hidup mereka (OD 105 (d));  mereka tidak boleh disalahartikan (lihat OD 102, mis. hak moral mereka harus dihormati).

Komunitas tidak boleh ditekan untuk berbagi pengetahuan rahasia (secret) atau sakral (sacred) tentang warisan budaya hidup mereka (lihat Pasal 13 (d) (ii); ODs 101 (c) dan 153 (b) (iii)), yaitu hak privasi mereka harus dihormati.

Banyak komunitas prihatin dengan implikasi kekayaan intelektual sebagai akibat dari pencatatan (inventarisasi) dan mempromosikan warisan hidup mereka.  OD 81 mendorong Negara-negara Pihak untuk menyadarkan komunitas akan pentingnya nilai warisan budaya hidup mereka sehingga para pemegang warisan hidup ini dapat sepenuhnya mendapat manfaat’ dari Konvensi.

Pelaksanaan Konvensi Warisan Budaya Hidup tidak boleh memengaruhi kewajiban Negara-negara Pihak yang berada di bawah instrumen HKI internasional yang telah menjadi pihak mereka (Pasal 3 (b)).  Ini berarti, antara lain, bahwa Konvensi tidak memberikan hak kekayaan intelektual baru atas elemen warisan hidup kepada siapa pun, juga tidak memaksakan kewajiban baru dalam hal ini kepada Pihak Negara. Lihat Pasal 3 (b) dan OD 104.

Undang-undang nomor 28 tahun 2014 atau tentang Hak Cipta.

Hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang muncul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah sebuah karya (produk) diwujudkan dalam bentuk nyata (tangible) (baca dipublikasikan melalui CD/DVD, disiarkan di televisi, situs web dan media lain, di panggung seni pertunjukan, bioskop, dan pameran) tanpa mengurangi pembatasan sesuai ketentuan perundang-undangan (lihat pasal 1, Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28, 2014). Meskipun Hak Cipta bersifat deklaratif dan otomatis, pencipta mengajukan permohonan pencatatan hak cipta secara online melalui e-hakcipta.dgip.go.id.

Ekspresi Budaya Tradisional (EBT) dan hak cipta untuk karya (produk) yang penciptanya tidak diketahui dilindungi oleh Negara (Bagian satu, artikel nomor 38, Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28, 2014)

Jika ada elemen/ unsur warisan budaya hidup, yang diwariskan dari generasi ke generasi dan tidak diketahui penciptanya, pemegang hak cipta elemen tersebut adalah Negara.

Ekonomi Kreatif di Indonesia

Dalam suatu kesempatan mendampingi kunjungan kerja ke Korea untuk menjalin hubungan kerja sama internasional bidang Ekonomi Kreatif di Indonesia, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia (2011-2014) bertemu dengan Menteri Kebudayaan Korea.  Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia kepada Menteri Kebudayaan Republik Korea, “Apakah kami perlu bertemu dengan Menteri yang menangani media, desain, dan iptek? Jawaban Menteri Kebudayaan Republik Korea, “Tidak perlu, cukup dengan Menteri Kebudayaan.” Setelah menandatangani Nota Kesepakatan, satu bulan kemudian, kami menerima kunjungan Direktur Kerja Sama Internasional Korea dan bertanya, “Apakah ada yang perlu dikerjasamakan selain yang telah ditandatangani dalam Nota Kesepakatan?” Pada waktu itu kami merasa terkejut karena ruang lingkup kerja sama yang telah disepakati bersama antara Indonesia dengan Korea meliputi bidang ekonomi kreatif berbasis seni dan budaya (EKSB) serta ekonomi kreatif berbasis media, desain dan IPTEK (EKMDI). Dari pertemuan tersebut kami mengetahui bahwa Korea melakukan pengembangan ekonomi kreatif berbasis IPTEK dan Perencanaan Masa Depan oleh Menteri yang menangani Ilmu Pengetahuan dan Perencanaan Masa Depan.

Dalam penugasan kami sebagai Ketua Hubungan Kerja Sama Internasional bidang Ekonomi Kreatif, antara Indonesia dengan Inggris, yang difasilitasi oleh British Council, perbincangan kami dengan pihak Inggris, yang menangani Kebudayaan, Desain, Media, dan Olahraga berada di bawah Kementerian Kebudayaan, Desain, Media, dan Olahraga (Culture, Design, Media, Sport/ CDMS).

Dari kedua pertemuan tersebut, kami mengetahui bahwa Inggris mengembangan ekonomi kreatif berbasis budaya, sedangkan Korea mengembangkan ekonomi kreatif berbasis ilmu pengetahuan dan perencanaan masa depan. Sementara itu, Indonesia mengembangkan ekonomi kreatif berbasis seni dan budaya serta ekonomi kreatif berbasis media, desain, dan IPTEK.

Pada saat Bapak Joko Widodo menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, kami mendampingi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Ibu Mari Elka Pangestu bertukar pikiran tentang pengembangan pariwisata dan ekonomi kreatif. Bapak Joko Widodo dengan singkat menyampaikan bahwa “Ekonomi kreatif basisnya budaya.”

Bertolak dari pemikiran di atas, kami menggunakan sumber-sumber dari UNESCO (United Nation Education, Science, Culture and Information) yang menangani urusan pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta informasi, dan UNCTAD (United Nation Conference on Trade and Development).

UNCTAD telah menerbitkan buku Orange Economy atau Ekonomi Kreatif yang menyebutkan bahwa bahan baku ekonomi kreatif adalah budaya. Sementara itu, sumber-sumber dari UNESCO, yang terkait dengan pengembangan Ekonomi Kreatif dilakukan melalui tahapan dari ekspresi nilai yang dilindungi hak cipta, industri budaya, industri kreatif, dan ekonomi kreatif.

Ekspresi nilai atau ekspresi budaya tradisional atau warisan budaya hidup merupakan bahan baku ekonomi kreatif. Guru Besar Ekonomi Kreatif dari Universitas Indonesia, Prof. Dr. Mari Elka Pangestu, mengatakan bahwa “DNA Ekonomi Kreatif adalah budaya.”

Mengapa pengembangan ekonomi kreatif berbasis budaya?

Kami pernah bersama dengan pembuat film animasi dari Walt Disney dan pembuat film animasi dari Indonesia bertemu dengan pengusaha sukses bidang televisi nasional mengatakan bahwa “Ekonomi kreatif yang diinginkan bukan yang seni budaya, seperti yang dikembangkan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, tetapi seperti yang dilakukan oleh Korea.” Pada waktu itu K-Pop terkenal dengan Gangnam Style (budaya baru Korea yang tidak berbasis budaya tradisi) sedang mewabah terutama di kalangan milenial dunia.

Belajar dari pengembangan ekonomi kreatif yang dilakukan oleh Korea dan Inggris, serta Amerika dengan Silicon Valley dan Walt Disney (If you can dream it, you can do it), pengembangan ekonomi kreatif yang dikembangkan di Indonesia adalah ekonomi kreatif yang tidak meninggalkan identitas, nilai, dan makna, yang merupakan DNA dari ekonomi kreatif. Jika DNA itu hilang, produk ekonomi kreatif tidak akan memiliki daya saing karena tidak ada bedanya produk ekonomi kreatif di Indonesia dengan produk ekonomi kreatif di dunia.

Ekonomi kreatif memanfaatkan output ekspresi nilai yang berupa produk budaya dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah dilindungi kekayaan intelektual (hak cipta, hak paten, hak desain industri, dan hak merek) sehingga menciptakan nilai tambah serta memberi manfaat bagi semua orang (social inclusion), menghargai keberagaman budaya (cultural diversity), dan mendukung pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Indonesia telah meratifikasi Konvensi UNESCO yang terkait dengan Ekonomi Kreatif, yaitu Konvensi 1972 tentang Proteksi Warisan Alam dan Budaya Dunia, Konvensi 2003 tentang Pelindungan Warisan Budaya Hidup, Konvensi 2005 tentang Proteksi dan Promosi Ekspresi Keanekaragaman Budaya, yang erat kaitannya dengan ekonomi kreatif.

Konvensi 1972 tentang Proteksi Warisan Alam dan Budaya Dunia menggunakan istilah nilai universal yang luar biasa (outstanding universal value), baik yang berupa warisan alam dan/ atau warisan budaya dunia, misalnya Taman Nasional Komodo, Situs Manusia Purba, Lanskap Bali, Kompleks Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko dan sebagainya.

Konvensi 2003 tentang Pelindungan Warisan Budaya Hidup, menggunakan istilah ekspresi nilai yang diwujudkan dalam ekspresi dan tradisi lisan; seni pertunjukan; praktik sosial, ritual, acara perayaan; pengetahuan dan praktik tentang alam dan alam semesta; dan keterampilan tradisional.

Konvensi 2005 tentang produk budaya, baik yang berupa barang maupun jasa budaya, yang biasanya baru, atau kreasi baru, misalnya film, seni pertunjukan kontemporer, seni kriya baru, rekabaru desain (ORBIT), media baru dan sebagainya.

Ketiga konvensi UNESCO sangat terkait dengan pengembangan ekonomi kreatif, misalnya, film Eat, Pray and Love yang dibintangi oleh Julia Robert menggunakan latar Landskap dan Budaya Bali (Konvensi 1972) sebagai daya tarik alam dan budaya, Batik karya Iwan Tirta digunakan oleh Nelson Mandela dan pemimpin dunia lainnya (Konvensi 2005), dan film Si Pitung menggunakan Pencak Silat Betawi (Konvensi 2003).

Karena DNA ekonomi kreatif adalah budaya, ketiga produk budaya di atas masih dapat dikenali identitas, nilai, dan maknanya, dan biasanya lokal.

Tabik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *